"sama sekali tidak terbesit untuk bersikap skeptis, hanya mempublikasikan sebuah keanehan yang tak tau pembenaranya, hanya berlaku kritik bukan untuk mencari pembenaran,hanya mencoba menahan kebenaran agar tidak jatuh ke bumi."
Ditulis oleh Andre Vltchek
Diterjemahkan oleh Fitri Bintang Timur
Disunting oleh Rossie Indira
(Artikel aslinya dimuat di Counter Punch, ”The Perfect Fascist City: Take a Train in Jakarta”, edisi 17-19 Februari 2012)
Kalau anda naik kereta api di Jakarta, berhati-hatilah: pemandangan yang
anda lihat di balik jendela mungkin akan membuat resah anda yang bukan
wartawan perang atau dokter. Terlihat ratusan ribu orang merana tinggal
di sepanjang jalur kereta. Rasanya seperti seluruh sampah di Asia
Tenggara ditumpahkan di sepanjang rel kereta; mungkin sudah seperti
neraka di atas bumi ini, bukan lagi ancaman yang didengung-dengungkan
oleh ajaran agama.
Memandang keluar dari jendela kereta yang kotor, anda akan melihat
segala macam penyakit yang diderita oleh manusia. Ada luka-luka yang
terbuka, wajah terbakar, hernia ganas, tumor yang tak terobati dan
anak-anak kurang gizi berperut buncit. Dan masih banyak pula hal-hal
buruk yang bisa anda lihat yang bahkan sulit untuk digambarkan atau
difoto.
Jakarta, ibu kota negara yang oleh media Barat diberi predikat
‘demokratis’, ‘toleran’ dan ‘perekonomian terbesar di Asia Tenggara’
sebenarnya adalah tempat dimana mayoritas penduduknya tidak memiliki
kendali atas masa depan mereka sendiri. Dari dekat makin nyata bahwa
kota ini punya indikator sosial yang levelnya lazim ditemui di
Sub-Sahara Afrika, bukan di Asia Timur. Selain itu, kota ini juga
semakin keras dan tidak toleran terhadap kaum minoritas (agama maupun
etnik), termasuk mereka yang menuntut keadilan sosial. Perlu
kedisiplinan yang luar biasa untuk tidak menyadari ini semua.
Slavoj Zizek, filsuf Slovenia, menulis dalam bukunya The Violence:
“Disini kita temui perbedaan Lacanian antara kenyataan (reality) dan
yang Nyata (the Real): ‘kenyataan’ (‘reality’) yang dimaksud disini
adalah kenyataan sosial dari orang-orang yang benar-benar terlibat dalam
interaksi dan dalam proses produksi, sementara yang Nyata (the Real)
adalah sesuatu yang ‘abstrak’ yang tak dapat ditawar, logika menakutkan
dari ibukota yang menentukan apa yang terjadi dalam kenyataan sosial.
Kita dapat melihat kesenjangan ini secara jelas ketika kita pergi ke
suatu negara yang kehidupan masyarakatnya berantakan. Banyak kita lihat
kerusakan lingkungan dan penderitaan manusia. Namun, yang bisa kita baca
hanyalah laporan dari para ekonom bahwa kondisi ekonomi negara ini
‘baik secara finansial’ – realitas tidak penting, yang penting adalah
kondisi di ibukota…”
Kondisi di ibukota dan para elitnya baik-baik saja, meskipun dibalik itu
negara dalam kondisi morat-marit. Tapi mari kita lihat lagi masalah
kereta api kita.
Saya memutuskan untuk naik kereta api ekspres dari Stasiun Manggarai ke
Tangerang (tempat di mana beberapa tahun lalu diterapkan hukum syariah
yang walaupun tidak konstitutional namun tetap berjalan dengan absolut
impunitas), untuk satu alasan saja: melihat apakah ada upaya nyata dalam
‘melawan/mengatasi’ apa yang disebut keruntuhan total infrastruktur
Jakarta, alias kemacetan total (total gridlock) .
Seperti halnya berbagai masalah di Indonesia, kemacetan punya sejarah yang menarik:
Sejak tahun 1965 (tahun dimana terjadi kudeta militer brutal yang
didukung oleh Amerika Serikat yang membawa Jendral Soeharto ke puncak
kekuasaan dengan menghabisi nyawa 800,000 hingga 3 juta jiwa. Mereka
yang terbunuh antara lain dari golongan kiri, kaum intelektual,
masyarakat minoritas Cina, serikat pekerja dan kaum ateis atau
sederhananya bisa saja mereka yang pada waktu itu memiliki istri yang
lebih cantik, tanah yang lebih luas atau sapi yang lebih gemuk),
pemerintah Indonesia bekerja keras untuk menjamin bahwa kota-kota di
Indonesia tidak memiliki transportasi publik, tidak memiliki taman yang
luas dan tempat pejalan kaki. Ruang publik secara umum dianggap sangat
berbahaya karena bisa saja disana masyarakat akan berkumpul untuk
mendiskusikan isu-isu ‘subversif’ seperti rencana menggulingkan
pemerintahan.
Taman-taman publik diambil alih oleh kontraktor untuk dijadikan lapangan
golf pribadi untuk kaum elit. Tempat pejalan kaki juga dihilangkan
karena tidak menguntungkan dan dianggap ‘terlalu sosial’. Pada akhirnya,
transportasi publik menjadi milik swasta dengan kualitas yang turun
menjadi angkot dan metromini yang mengeluarkan asap hitam dari
knalpotnya dan bajaj India bekas yang bahkan sudah tidak dipakai lagi
selama beberapa dekade di negara asalnya.
Itu terjadi di Jakarta. Kota-kota lain dengan jumlah penduduk antara 1
hingga 2 juta jiwa seperti Palembang, Surabaya, Medan dan Bandung tidak
memiliki transportasi publik yang berarti, selain angkot kecil, kotor
berkarat dan bis yang kotor dan bau.
Tentu saja semua ini sudah direncanakan: produsen mobil diberikan
lisensi untuk memproduksi mobil model lama dari Jepang dan menjualnya
dengan harga gila-gilaan (mobil di Indonesia dijual antara 50-120 persen
lebih mahal daripada di Amerika Serikat), kemudian memaksa penduduk
Indonesia – yang termasuk paling miskin di Asia Timur – untuk membeli
mobil pribadi. Mobil yang pertama dibawa masuk, lalu sepeda motor yang
lebih berbahaya, fatal untuk lingkungan hidup dan sama sekali tidak
efisien. Di kota-kota besar di Cina dan banyak kota Asia lainnya sepeda
motor sudah dilarang masuk ke kota.
Pejabat pemerintah dan wakil rakyat di DPR diam-diam secara konsisten
mendapat suap dari industri mobil. Lobi mobil ini menjadi sangat
berpengaruh dan menghambat segala upaya untuk memperbaiki angkutan
kereta api maupun kapal laut antar pelabuhan di Jawa, salah satu pulau
yang paling padat di dunia.
Pada tanggal 14 Agustus 2011, koran Jakarta Post menulis:
Anggota Partai Demokrasi Indonesia Pejuangan (PDIP) Nursyirwan Soedjono
yang juga Wakil Komisi V DPR untuk mengawasi bidang transportasi, telah
lama mempertanyakan ketidakmauan pemerintah untuk mengalokasikan lebih
banyak dana untuk memperbaiki jaringan rel kereta di negara ini. Mereka
menyalahkan ketakberdayaan mereka pada lobi politis ‘tingkat-tinggi’
yang diatur oleh industri otomotif yang menerima keuntungan langsung
dari pembangunan jalan di negara ini.
“Tidak ada tuh cerita bahwa kami [Komisi V] menolak rencana anggaran
pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur rel kereta api,” Nusyirwan
mengatakan pada Jakarta Post. “Namun tampaknya ada ‘kelompok
berpengaruh’ yang selalu menolak segala upaya untuk meningkatkan jasa
transportasi umum, khususnya kereta api.”
Seperti di banyak masyarakat fasis yang ekstrem ataupun masyarakat
feodal, kaum ‘elit’ menikmati naik mobil limosin sementara orang yang
tidak punya patah kaki ketika mereka jatuh ke got karena tidak ditutup,
diperkosa di kendaraan umum dan menghirup asap knalpot ketika naik
angkot, atau otak mereka berhamburan di atas trotoar karena naik motor
di atas trotoir yang tidak rata setelah frustasi naik motor di antara
mobil dan truk yang agresif di jalanan.
Namun para pengambil keputusan di pemerintahan menikmati adanya
impunitas selama beberapa dekade ini dan mereka telah mengambil hampir
semua ruang publik di kota Jakarta. Dengan impunitas pemerintah selain
memang tidak kompeten dan malas, mereka menjadi semakin tidak punya
motivasi serta beritikad untuk menutup semua solusi jangka panjang bagi
kota Jakarta.
Kita lihat saja kenyataan bahwa panjang rel kereta api di sini malah
menyusut sejak masa penjajahan Belanda; Jakarta dengan penduduk lebih
dari 10 juta jiwa (bahkan lebih di hari kerja) menjadi satu-satunya kota
(dengan jumlah penduduk yang hampir sama) di dunia yang tidak memiliki
sistem angkutan massal.
Beberapa tahun lalu ada upaya membangun dua jalur monorel walaupun bukan
sistem angkutan massal yang paling efektif untuk kota Jakarta.
Jalan-jalan ditutup, debu dan kotoran dimana-mana, penduduk diminta
untuk bersabar dengan alasan bahwa ‘pembangunan ini untuk mereka’, namun
kenyataannya tidak lah demikian, karena ternyata tujuan utama sistem
transportasi ini adalah untuk mengeruk laba.
Proyek ini diberikan pada konsorsium swasta dan akhirnya, sudah dapat
diduga, uang publik disalahgunakan. Pembangunan tiba-tiba berhenti,
menyisakan pilar-pilar beton yang memancang di tengah jalan. Tidak ada
yang dibawa ke pengadilan dari proyek yang membawa skandal ini, dan
media amat disiplin untuk hanya melaporkan pernyataan resmi pemerintah,
seolah-olah walaupun uang sudah lenyap tapi mereka yang bertanggungjawab
tidak layak untuk diganggu hidupnya oleh penyelidikan polisi.
Supaya kita tidak hanya melihat dari satu sisi saja, memang ada pula
upaya untuk menyelamatkan Jakarta, misalnya mencoba transportasi air
dengan perahu di kanal-kanal yang sebenarmya sangat tercemar. Sayangnya
sampah-sampah yang ada di kanal-kanal itu merusak mesin perahu, ditambah
dengan bau menyengat dari kanal yang selalu dipenuhi sampah dan benda
beracun sehingga ‘proyek’ ini gagal total dalam beberapa minggu saja.
Banjir Kanal Timur seharusnya bisa membawa perubahan berarti bila
dilakukan dengan revolusi seluruh pendekatan pekerjaan publik yang
tujuannya agar pembangunan kota Jakarta sesuai dengan standar Asia di
abad ke-21. Selama beberapa dekade, Jakarta telah mengalami banjir
besar; pernah 2/3 kotanya terendam banjir. Hal ini disebabkan
kanal-kanal yang tersumbat, lahan hijau yang hilang dan pembangunan yang
membabi-buta. Akhirnya diambil keputusan untuk membebaskan tanah dan
membangun kanal bankir untuk menyalurkan air berlebih ke laut. Pada saat
perencanaan, dijanjikan akan dibangun taman-taman publik atau paling
tidak tempat pejalan kaki di pinggir kanal. Juga dijanjikan adanya jalur
khusus untuk pengendara sepeda, tempat berolahraga, juga transportasi
air, bahkan angkutan dengan tram listrik.
Bagi mereka yang masih punya harapan untuk Jakarta akhirnya dibenturkan
pada kenyataan yang jauh dari apa yang dijanjikan. Di tahun 2010 dan
2011, saat pembangunan kanal masih jauh dari penyelesaian, kenyataan
pahit mulai terlihat.
Kualitas konstruksi kanalnya sangatlah buruk, bahkan sebelum pembangunan
selesai, sampah telah menutup proyek kanal tersebut. Kejutan
berikutnya: pemerintah mengatakan bahwa mereka memang tidak berencana
untuk menyelenggarakan transportasi publik di pinggir/atas kanal itu.
Seperti biasa, mereka meyakinkan publik bahwa tidak akan akan ada ruang
publik disana. Di awal tahun 2012, lahan di sepanjang kanal dijadikan
jalan raya (walaupun menggunakan kata jalan inspeksi) yang langsung
digunakan oleh pengendara sepeda motor. Bahkan sejak sebelum selesai
dengan sempurna, namun secara resmi sudah beroperasi, kanal banjir ini
kelihatannya hanya akan menjadi tempat pembuangan sampah dan menambah
harapan tinggi para pelobi motor/mobil.
Bayangkan berapa kilo meter ruang kota yang terbuang (meski secara resmi
pemerintah menganggap proyek ini sukses)! Tidak ada sedikitpun tempat
bagi pejalan kaki dan tidak ada satupun taman bermain untuk anak-anak.
Bagaimana para pejabat pemerintah bisa menghindar dari tanggung jawabnya
walaupun ada bukti nyata dari perampasan hak rakyat disini? Di negara
lain, hal ini bisa dianggap sebagai ‘pengkhianatan’ kepada bangsa dan
negara.
Hal ini bisa terjadi karena dalam ‘demokrasi Indonesia’ tidak ada
akuntabilitas. Tidak ada akuntabilitas sama sekali! Korupsi terjadi
dimana-mana dan warga negara tidak memiliki mekanisme untuk
mengorganisir protes (obsesi dengan jaringan sosial seperti Facebook
pada umumnya hanya untuk status semata). Bahkan pembunuhan orang yang
berbeda kepercayaan dengan kader kelompok agama garis keras tidak
membuat masyarakat ‘berpendidikan dan kalangan menengah’ turun ke jalan
untuk berdemonstrasi.
Yang terasa adalah bahwa di seluruh negara, termasuk di ibu kota,
masyarakat telah putus asa sejak lama. Orang-orang menjalani hidupnya
dalam kota megapolitan tanpa perlu menuntut, memprotes atau
berkeluh-kesah.
Masalahnya, di Indonesia berkeluh-kesah, menuntut atau berdemo jarang
atau sama sekali tidak membawa hasil. Surat-surat yang ditujukan kepada
wakil rakyat di DPR tidak dijawab, bahkan banyak yang tidak dibuka,
sementara surat ke media massa dimuat hanya jika isinya berada dalam
batas-batas yang tidak tertulis namun tersirat ‘Proyek’ tidak terbuka
untuk didebat (karena melibatkan banyak uang dan ada pembagian uang
jarahan tersebut antara pemerintah dan perusahaan swasta dengan aturan
dan formula yang telah mereka sepakati bersama) dan tidak diberikan
jalan untuk masyarakat bisa intervensi karena akan ada resiko merusak
sistem yang ada. Rakyat hanya sesekali diberi informasi tentang apa yang
akan dibangun, kapan dan di mana. Jika ada uang yang raib – hal yang
amat sering terjadi – tidak ada konsekuensi yang ditanggung
pelaksananya. Jika rencana ‘berubah’ atau jika jadwal tidak terpenuhi,
tidak ada yang dipaksa bertanggungjawab.
Indonesia adalah contoh dimana diktator bisa dipilih melalui pemilihan
umum yang dilangsungkan secara periodik (para pemilih dapat memilih
dengan bebas antara satu kandidat korup dengan kepentingan bisnisnya
dengan kandidat lain yang juga korup dengan kepentingan bisnis yang
lain) dan memimpin dengan dikontrol dan disponsori oleh kepentingan
Barat serta sama sekali tidak ada kekuasaan yang diberikan pada rakyat.
Jika ada penumpang yang jatuh karena lantai kereta api yang berkarat dan
meninggal atau mereka yang jatuh di lubang galian proyek, jangankan
dapat kompensasi, dapat permohonan maafpun tidak.
Ketika diminta untuk membandingkan Indonesia dengan Cina, Profesor
Dadang M Maksoem, mantan pengajar di University Putra Malaysia (UPM)
yang sekarang bekerja untuk pemerintah daerah Jawa Barat, memberikan
jawaban dengan berapi-api: “Sederhana saja: mereka [orang Cina]
berkomitmen untuk melakukan yang terbaik untuk negara mereka. Pendidikan
disana tidak seperti di sini. Bagaimana sih kok pemerintah tidak bisa
memberikan transportasi publik yang layak? Rakyat dipaksa untuk untuk
membeli sepeda motor mereka sendiri untuk mengangkut diri mereka sendiri
dan mereka dipaksa untuk membahayakan jiwa mereka di kondisi
lalu-lintas yang parah. Sekarang kemacetan lalu-lintas ada di mana-mana.
Entah apa yang bisa saya katakan. Orang-orang disini itu bodoh, idiot,
mati otak, atau rakus Sih? Pilih saja jawabannya!”
Tapi jawaban seperti ini bukan yang ditampilkan di media populer di
Barat. Secara resmi Barat memuja Indonesia. Bagaimana tidak: penguasa
dan elit Indonesia yang taat pada mereka berani mengorbankan rakyat,
pulau-pulau, bahkan ibukota mereka sendiri untuk kepentingan dan
keuntungan perusahaan-perusahaan multi-nasional dan penguasa dunia.
Perusahaan asing dan pemerintah mana yang tidak menghargai kemurahan
hati penguasa dan elit Indonesia ini?
Tapi marilah kita kembali ke masalah transportasi publik lagi.
Pada masa pemerintah dan swasta merencanakan proyek pembangunan monorel
(atau setidaknya ini yang mereka katakan pada masyarakat), kota ini
mulai membangun apa yang disebut ‘busway’ atau jalur khusus bus, yaitu
proyek yang awalnya adalah kesalahan dalam memahami konsep transportasi
publik di kota Bogota yang terletak nun jauh di Kolombia, Amerika
Selatan.
Alih-alih membangun sistem transportasi kereta api massal yang bisa
mengangkut jutaan penumpang setiap harinya, Jakarta ‘membangun’ jalur
busway yang mengambil dua jalur dari jalur yang sudah ada di jalan-jalan
utamanya, kemudian mengoperasikan kendaraan bus sempit dimana para
penumpang duduk menyandar dinding sambil menghadap satu sama lain.
Setiap bus hanya punya satu pintu untuk penumpang naik dan turun. Halte
dan jalan masuk ke halte dibuat dari logam yang mudah berkarat dan
sekarang pelat lantainya sudah banyak yang lepas dan meninggalkan lubang
di jalan masuk itu. Hampir semua pintu otomatis di halte sudah tidak
beroperasi dengan baik dan akhirnya ada orang yang terdorong ke jalan
hingga meninggal atau luka parah.
Seperti moda transportasi lain di Jakarta, sistem ini tidak dirancang
untuk meningkatkan hajat hidup orang banyak, dalam hal ini untuk
mengurangi kemacetan dan mengangkut berjuta orang secara aman dan
nyaman. Busway dirancang sebagai proyek untuk memperkaya perusahaan yang
memiliki saham dan para pejabat yang korup.
Sistem busway tidaklah efisien, tidak memperhatikan keindahan dan tidak
mempersatukan kota – malahan lebih memecah-belahnya. Hampir tidak ada
tempat pejalan kaki di dekat halte busway. Penumpang yang sampai di
halte busway harus beresiko kehilangan nyawanya untuk menyeberang jalan
untuk sampai ke tempat tujuan atau naik angkutan umum lain.
Bahkan ketika halte busway dibangun di dekat stasiun kereta, perencana
kota menjamin bahwa tidak ada jalan langsung ke sana. Selama beberapa
dekade, para penguasa Jakarta telah memastikan tidak adanya interkoneksi
antara moda transportasi, termasuk dengan stasiun kereta peninggalan
jaman Belanda. Kota ini hampir tidak memiliki tempat pejalan kaki,
hampir tidak ada tempat penyeberangan di bawah tanah (hanya ada satu di
seluruh kota yaitu dekat stasiun Kota yang pembangunannya membutuhkan
waktu beberapa tahun) yang menghubungkan stasiun dengan jalan raya. Dan
kenyataannya Jakarta tidaklah memiliki banyak jalan raya – kebanyakan
dari jalan raya ini hanyalah replika buruk dari jalanan di pinggiran
kota Houston: dengan jalan tol (layang atau bukan), tidak ada tempat
pejalan kaki dan fasilitas-fasilitas yang dipisahkan oleh pagar-pagar,
tidak langsung bisa diakses dari jalanan.
Kebodohan dalam perencanaan kota ini hanya bisa disamai oleh
ketidakcerdasan pembangunan negara secara keseluruhan – Jakarta adalah
sebuah contoh dunia kecilnya. Contohnya, untuk putar-balik di jalanan
saja, seseorang harus berkendara satu kilometer atau lebih dan hal ini
tentunya menambah kemacetan, konsumsi bahan-bakar dan polusi. Kota ini
dirancang sedemikian rupa sehingga orang harus naik mobil hanya untuk
menyebrang jalan karena memang hampir tidak ada tempat pejalan kaki dan
sarana penyebrangan yang memadai. Sarana transportasi di kota ini
berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada interkoneksi. Rakyat dipaksa untuk
mengemudikan mobil atau skuter murah yang semakin populer belakangan ini
(warga lokal menyebutnya motor) untuk kemudian membusuk di tengah
kemacetan yang legendaris. Hal ini bisa terjadi karena pelobi mobil
mampu menyuap pemerintah dan hasilnya adalah ketidakmauan pemerintah
untuk membangun jaringan transportasi publik yang efisien.
Sangat jelas terlihat bahwa ada banyak kepentingan ekonomi yang
terlibat. Untuk dapat menganalisa Indonesia, penting untuk diingat bahwa
pertimbangan dan prinsip moral yang ‘normal’ sudah menghilang dari
kamus para penguasa.
Sekelompok kecil pengusaha dan politisi telah menjarah sebagian besar
sumber daya alam negara ini; mereka menghancurkan banyak hutan tropis
dan mengubah negara kepulauan ini menjadi bencana bagi lingkungan hidup.
Mayoritas penduduk Indonesia tidak pernah mencicipi keuntungan dari
kerusakan yang terjadi di negara mereka.
Penduduk Jakarta tak terkecuali. Kota ini dibangun ‘bukan untuk rakyat’,
sebagaimana dikatakan oleh seniman Australia George Burchett pada saat
mengunjungi kota ini lebih dari dua tahun lalu.
Penduduk yang tidak mendapatkan informasi yang benar menjadi apatis
setelah melewati kampanye cuci-otak pro-bisnis selama beberapa dekade.
Setelah tidak ada lagi pemikiran kritis di kota ini, hasilnya adalah
tidak ada bioskop yang khusus memutar film-film seni, tidak ada teater
permanen, tidak ada media yang berorientasi sosial ataupun galeri yang
memamerkan tragedi Indonesia melalui seni, sampai sekarang ini. Yang
terjadi malah milyaran sampah sosial berterbangan dari satu unit
Blackberry ke unit lainnya ketika kaum elit saling mengobrol dan
mendengarkan musik pop jaman dulu atau memuaskan diri dengan makanan
Barat dan Jepang murahan. Memang tidak banyak hal lain yang dapat
dilakukan di kota ini. Di satu sisi kota ini hampir hancur karena sudah
diselimuti asap beracun dan punya banyak sekali kawasan kumuh yang ada
di antara berbagai mall raksasa dan perkantoran. Tidak ada lagi air
bersih di kanal-kanalnya yang dulu mengalir deras – yang tinggal hanya
racun.
Yang paling menakutkan di kota ini adalah sepertinya tidak ada tempat
lagi bagi manusia. Manusia menjadi tidak relevan. Anak-anak juga jadi
tidak relevan: tidak ada tempat bermain dan taman untuk mereka. Kalau
kita bandingkan dengan kota Port Moresby yang miskin, ibu kota Papua
Nugini ini memberikan fasilitas yang jauh lebih baik kepada warganya.
“Persetan dengan bantuanmu!” teriak Presiden Sukarno kepada duta besar
Amerika Serikat di depan publik lebih dari setengah abad yang lalu.
Pembalasan yang kejam segera datang. Setelah kudeta yang disponsori oleh
AS and rejim fasis berkuasa hingga hari ini, Jakarta telah berubah
menjadi tempat dengan motto “Persetan dengan rakyat!”
saya suka bagian diatas
“Saat saya pulang ke Jakarta, saya tidak ingin keluar rumah”, kata
Nabila Wibowo, seorang putri diplomat Indonesia. Dia memutuskan untuk
tinggal di Portugal setelah masa tugas ibunya berakhir. “Tidak ada
budaya di sini, tidak ada konser, tidak ada musik yang asik.Bahkan saya
tidak bisa berjalan kaki atau pergi dengan aman dan nyaman di dalam
kota. Tidak ada tempat pejalan kaki. Akhirnya, saya hanya pulang
sebentar saja, mengunci diri di dalam kamar dan membaca buku.”
Sekarang ‘katanya’ kota ini akan membangun MRT, kereta bawah tanah yang
diharapkan memiliki dua trayek saat selesai dibangun. Proyek ini sudah
tertunda selama beberapa dekade, namun kalaupun akhirnya berjalan,
banyak analis termasuk beberapa professor dari ITB (Institut Teknologi
Bandung) yang takut untuk membayangkan hasilnya, mengingat track record
aparat pemerintah kota dan kualitas proyek lainnya di negara ini.
Kelihatannya dapat dipastikan bahwa uang yang dialokasikan untuk proyek
ini akan disalahgunakan lagi. Di Indonesia, hampir pasti tidak ada
mekanisme untuk menjamin transparansi dan pengawasan yang tak berpihak.
Tentunya hal ini sangatlah kontras jika dibandingkan dengan apa yang
terjadi di negara lain seperti India di mana kereta bawah tanah New
Delhi dibangun sesuai rencana dan menghabiskan uang dibawah anggaran.
Tampaknya banyak orang di Indonesia yang berbakat dalam penyalahgunaan uang publik. Dalam hal ini, Indonesia nomor satu.
Dan rakyat juga tidak serius menuntut untuk menghentikan kegilaan ini.
Hingga kini rakyat sudah terbiasa hidup susah, mati dini karena polusi,
tinggal di perkampungan kumuh tanpa air bersih dan sanitasi dasar, atau
duduk berjam-jam di kemacetan. Mayoritas penduduk Jakarta belum pernah
ke luar negeri dan oleh karenanya mereka tidak tahu bahwa ‘ada
alternatif dunia lain’, bahwa sebenarnya ada kota-kota yang dibangun
untuk rakyat. Kaum elit yang suka pergi ke luar negeri tahu benar
tentang hal ini, namun mereka memilih untuk tidak mengatakannya.
Kita selalu lihat ada lingkaran setan: proyek baru diumumkan, kemudian
diluncurkan, dan akhirnya berantakan setelah banyak dompet oknum-oknum
terisi padat. Rakyat tidak diberi apapun tapi mereka pun tidak menuntut
apa-apa. Tapi bukannya memang dari dulu sudah seperti ini? Mungkin
berbeda sedikit disana dan sedikit disini dari jaman penjajahan Belanda
dulu. Meskipun demikian, sebelum meninggal penulis besar Indonesia
Pramoedya Ananta Toer mengatakan pada saya bahwa “situasi waktu dulu
tidak pernah seburuk sekarang”.
Mereka yang tahu atau seharusnya tahu apa yang ada di balik layar adalah
mereka yang terlibat atau tidak mau berhadapan dengan kenyataan.
Pada bulan Februari 2012 saya bertanya pada Ibu Ririn Soedarsono,
profesor di perguruan tinggi terkenal ITB, apakah proyek MRT memiliki
kemungkinan untuk selesai.
“Kami akan mulai membangun MRT tahun ini,” ujarnya. “Pada akhir tahun
2013, tahap pertama akan selesai. Secara teknis harusnya tidak ada
masalah. Namun saya tidak tahu bagaimana iklim politik pada saat itu…”
2013? Bahkan di negara-negara yang teknologinya berkembang seperti
Jepang, Cina atau Chile, satu jalur kereta bawah tanah dapat memakan
waktu 4 hingga 10 tahun pembangunan, tergantung pada situasi daerahnya.
Tapi mungkin saja saya salah tangkap mengenai definisi ‘tahap pertama’.
Sebetulnya angkutan kereta api di Jakarta masih lebih baik daripada di
Nairobi. Banyak gerbong kereta yang memiliki alat pendingin karena
walaupun bekas tapi diimpor dari Jepang. Namun kelihatannya
kereta-kereta ini cenderung menua secara cepat karena kurangnya
perawatan: satu tahun saja di Jakarta dan kereta berusia 30 tahun asal
Jepang yang datang dalam kondisi sempurna akan berakhir dengan pintu
rusak, kursi tersayat dan sistem pendingin udara yang tersumbat kotoran.
“Kami naik kereta dua kali seminggu,” jelas Ibu Enny dan Ibu Susie dari
Bogor. “Kami jarang naik di hari kerja, terutama di jam-jam padat.
Hampir tidak ada tempat untuk berdiri. Buat kami perempuan, sebetulnya
naik kereta pas jam padat amatlah menakutkan, apalagi ketika para
penumpang berebut memasuki gerbong.”
Namun demikian, keunggulan sistem kereta api di Jakarta (yang
disebut-sebut sebagai ‘keajaiban kapitalis dan demokrasi’) dari Nairobi
(sebagai ibu kota dari salah satu negara paling miskin di dunia) mungkin
tidak akan bertahan lama. Di awal tahun 2013 Nairobi sudah bersiap
untuk memperbaharui jaringan rel kereta api lamanya dan menambah jalur
modern yang pertama, diikuti dengan yang kedua di tahun 2014.
Stasiun-stasiun keretanya akan memiliki tempat parkir, toko-toko dan
fasilitas modern, serta akan menghubungkan area yang ditempati oleh
kelas menengah dan bawah.
Perusahaan-perusahaan konstruksi dari Cina membangun jalan raya, jalan
layang dan proyek infrastruktur lainnya di Afrika Timur. Mereka juga
membangun tempat pejalan kaki, rel kereta api dan dalam dua tahun mereka
berencana untuk membangun jalan kereta api ke Bandara Internasional
Jomo Kenyatta di Nairobi. Bandara Sukarno Hatta di pinggiran Jakarta
yang dulu megah sudah menunggu selama beberapa dekade untuk dihubungkan
dengan jalan kereta api ke Jakarta, namun sejauh ini baru mendapatkan
tambahan jalur jalan tol saja.
Beberapa pertanyaan logis dari yang dipaparkan diatas adalah: Mengapa
Indonesia bisa jauh tertinggal dari kota-kota seperti Kairo, Nairobi,
Johannesburg dan Lagos ataukah ada hal lain yang terjadi? Mungkinkah
kaum elit Indonesia mengorbankan puluhan bahkan ratusan juta orang hanya
untuk keuntungan mereka sendiri? Mereka sudah pernah melakukan itu
sebelumnya, apakah mungkin mereka melakukannya lagi?
Sekarang ini apa yang banyak kita lihat di sepanjang rel kereta api
adalah anak-anak kecil dan balita yang setengah telanjang bermain dengan
sampah dan gorong-gorong terbuka. Di sini sampah dibakar di ruang
terbuka karena Jakarta tidak memiliki sistem pembuangan sampah
komprehensif. Pengumpulan dan pengurusan sampah adalah hak publik, oleh
karenanya tidak menciptakan laba dan tidak menyenangkan pejabat. Hanya
segelintir penduduk Jakarta memiliki akses atas air yang benar-benar
bersih, dan hanya 30 persen yang dapat sanitasi dasar.
Hidup di sepanjang jalan kereta api ini sudah seperti hidup di neraka,
dengan gerbong-gerbong yang terus menerus lewat dari satu stasiun ke
stasiun lainnya.
Membaca apa yang ditulis mass media Indonesia yang ahli dalam seni
mengelabui akan membuat anda bahwa Jakarta sudah punya sistem
perkereta-apian dan hanya perlu sedikit penyempurnaan. Bahkan Anda dapat
menemukan semacam peta dari ’sistem’ transportasi itu di internet. Tapi
cobalah datang ke stasiun, coba naik keretanya, dan coba
interkoneksinya, maka anda akan berpikir ulang apakah sebenarnya sistem
ini ada dan mencukupi sebagai salah satu pilihan angkutan massal.
Beberapa masalah yang saya temui antara lain: Tidak ada jadual dan
informasi yang disediakan dan mudah dimengerti penumpang; Petugas yang
kurang tanggap, lamban dan tidak efisien dalam penjualan tiket secara
manual. Tidak mudah untuk dapat sampai ke peron yang dituju. Padahal
orang-orang yang menggunakan kereta api adalah mereka dari kelas
menengah Indonesia.
Harus dicatat, ini adalah kelas menengah yang didefinisikan secara
lokal, menggunakan angka-angka dari Bank Dunia dan pemerintah Indonesia:
menurut mereka, kelas menengah adalah mereka yang hidup lebih dari US$2
(atau sekitar Rp. 18.000) per hari. Menurut mereka ini berlaku bahkan
di kota yang merupakan salah satu kota paling mahal di Asia Timur.
Menurut batasan di atas, mayoritas penduduk kota Jakarta berasal dari
’kelas menengah’. Namun kalau kita lihat kenyataannya, sebagian besar
dari mereka hidup di lokasi yang di belahan dunia lain disebut sebagai
’kawasan kumuh’. Kawasan dimana mereka tidak memiliki akses terhadap air
bersih dan hidup dalam kondisi kebersihan yang tak layak.
Banyak orang dari ’kelas menengah’ ini naik ke atap kereta karena mereka
tidak mampu membayar harga tiket; beberapa orang tersengat listrik
setiap tahunnya, beberapa lainnya meninggal karena terjatuh. Untuk
mencegah mereka naik ke atas, pemerintah yang baik hati mulai membangun
bola-bola beton yang digantung di atas jalur kereta api untuk
menghancurkan kepala mereka yang naik di atas atap kereta api,
kadang-kadang petugas merazia mereka dengan menyemprot mereka dengan
cat, bahkan dengan kotoran manusia. Beberapa stasiun, termasuk
Manggarai, menempelkan kawat berduri di atap rel sehingga orang-orang
yang mencoba melompat ke atap akan tersayat.
Herry Suheri – penjual rokok di Stasiun Manggarai masih berpikir bahwa
orang-orang tidak akan takut dengan upaya pencegahan yang drastis
tersebut: ”Masih ada saja orang yang naik ke atap kereta ekonomi,
apalagi saat jam-jam padat. Bukan hanya untuk tumpangan gratis, tapi
karena jumlah kereta yang ada tidak mencukupi untuk penumpang yang harus
sampai ke rumah atau ke tempat kerja.”
Sistem kereta api, ’dareah penghijauan’, ’rencana perbaikan kota’ –
semua palsu, hanya ada di angan-angan. Kenyataan yang ada amatlah brutal
namun jelas: Jakarta tidak bisa dikategorikan dalam definisi kota
apapun. Kota ini adalah sebuah laboratorium, sebuah eksperimen
fundamentalisme pasar. Binatang percobaannya adalah masyarakat. Mereka
sedang dipelajari: seberapa besar ketidaknyamanan yang dapat mereka
tahan, seberapa banyak lingkungan tak sehat yang masih bisa mereka
hadapi, dan seberapa banyak pemandangan buruk dikota ini yang akhirnya
dapat membuat mereka melarikan diri?
Saat ini, lebih baik buat kita untuk tidak menggantungkan harapan pada
kota Jakarta. ’Kota besar yang paling tidak layak untuk ditinggali di
Asia-Pasifik’ ini tidak akan jadi lebih baik dalam waktu dekat ini, juga
mungkin tidak dalam jangka waktu yang lama. Tidak akan ada perubahan di
bawah pemerintahan sekarang ini. Tidak di bawah rejim ini.
Di Amerika Latin, kelompok sayap kanan dulu meneriakkan: ”Jakarta akan
datang!” untuk menakut-nakuti pemerintahan sayap-kiri di Chile dan di
berbagai tempat lain di dunia. Namun Jakarta sekarang ada di sini, dalam
kondisi prima sebagai monumen keberhasilan kapitalisme yang tidak
terkontrol; sebuah monster, sebuah peringatan, dan contoh kasus bagi
mereka yang ingin tahu seberapa besar keserakahan dan keegoisan kaum
elit.
*Artikel ini dimuat di buletin berita Amerika Serikat, Counter Punch,
dengan judul ”The Perfect Fascist City: Take a Train in Jakarta”, edisi
17-19 Februari 2012.
Andre Vltchek adalah seorang penulis novel, analis politik, pembuat film
dan jurnalis investigatif. Dia hidup dan bekerja di Asia Timur dan
Afrika. Buku non-fiksi terakhirnya ”Oceania” menggambarkan
neo-kolonialisme Barat di Polinesia, Melanesia dan Mikronesia. Penerbit
Pluto di Inggris akan menerbitkan buku kritiknya atas Indonesia
(”Archipelago of Fear”) di bulan Agustus 2012. Dia dapat dihubungi lewat
situs internetnya di http://andrevltchek.weebly.com/
Fitri Bintang Timur adalah peneliti, penulis dan penikmat tulisan bagus.
Dia menyepi dari Jakarta selama sepuluh bulan setelah lima tahun lebih
naik kereta api di kota itu. Ia akan kembali suatu hari nanti.
Rossie Indira adalah penulis dan konsultan. Buku terakhirnya ’Surat Dari
Bude Ocie’ diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas. Buku tentang
perjalanannya ke 10 negara ASEAN akan selesai tahun ini. Dia dapat
dihubungi lewat situs internetnya di http://rossie-indira.weebly.com/
No comments:
Post a Comment