Tuesday, April 17, 2012

Kalau Pak Haji Bikin Band

Ini tentang seorang haji nan religius yang membuat band. Darinya tercipta lirik-lirik banal yang nakal.

Sebagai sebuah grup band, Seringai menjadi terkenal karena dia datang dengan konsep begitu menggoda untuk para muda yang beranjak dewasa atau mungkin juga anak-anak yang sudah memikirkan tua. Ini band yang mengajak untuk tidak menjadi “tua”. Tua sebagai penanda serangkai sifat konservatif, konvensional, cerewet, ketinggalan jaman, dan membosankan. Terlepas dari musikalitasnya (lagu dan kemampuan memainkan instrument musik), Seringai tampak begitu segar seperti Rock ‘n Roll di masanya. Ini band anti-menye-menye yang menawarkan—sebagaimana digambarkan dalam film dokumenter mereka “Generasi Menolak Tua”—chaos di setiap penampilan langsungnya. Dalam praksisnya, Seringai adalah anugerah untuk jiwa-jiwa pemberontak maupun sedang belajar berontak.


Dengan rasa anarkis, kasar, dan terkesan tak beradab, nama Seringai yang bermakna senyum aneh untuk mengungkapkan kebencian atau rasa tidak suka jadi relevan. Arian13, vokalis Seringai, dalam film yang sama mengungkapkan bahwa ide nama itu darinya. Nama itu dipilih, ujarnya, semata-mata karena alasan estetis. Lagipula, ini kosa-kata yang menjurus arkaik—mulai dilupakan orang-orang. Bahkan nama grup fansnya tak kalah sangar: Serigala!

Seringai sebagai sebuah hubungan timbal balik simbol dan makna yang koheren, bukan sekedar hubungan yang arbitrer dan tak bisa dilacak asal-usulnya. Putar saja lagu “Mengadili Persepsi” sambil membayangkan berita-berita utama di surat kabar setahun belakangan ini. Kalau anda tiba-tiba menyeringai geram cum marah, itu tak aneh.

Namun The PanasDalam? Nama band macam ini benar-benar tak memberikan kesan apa-apa mengenai genre musik yang dia usung. Yang jelas ini bukan tipikal nama band pop. Ini adalah sejenis nama absurd ala orkes tahun 80-an seperti Pengantar Minum Racun (PMR) yang digawangi Johnny Iskandar atau Pancaran Sinar Petromaks (PSP). Atau yang lebih kontemporer seperti Produk Gagal dari Yogyakarta. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, sekiranya The PanasDalam adalah sebuah band humor.

The PanasDalam adalah band kelahiran Bandung tahun 2005. Dibidani sekaligus kemudian menjadi frontmannya, adalah Pidi Baiq. Penulis seri buku Drunken, mantan Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain Ars International University, serta ilustrator di sebuah penerbit di Bandung. Bahasan tentang betapa nylenehnya band ini, tak terlepas dari filosofi manusia satu ini. Orang yang bila diukur dengan indikator strukturalis manapun, baik secara perkataan maupun moral, adalah seorang gila.

Awal-awal, Pidi Baiq, selain sebagai orang tunggal yang memproduksi lirik dan lagu untuk The PanasDalam, juga sekaligus sebagai vokalis. Namun di kemudian hari, Haji Pidi (begitu ia biasa dipanggil dan memanggil dirinya sendiri) memilih mundur dan hanya berkonsentrasi menulis lirik untuk The PanasDalam. Toh, dengan hadirnya vokalis baru—Erwin, secara subjektif saya menilai, ini sebuah kemajuan. Setidaknya suaranya lebih bagus dari Haji Pidi.

The PanasDalam mengaku kalau genre musik mereka adalah ballad. Saya pikir, dalam soal identitas musik, bila diukur lewat variasi lagu-lagunya, mereka mirip dengan Koes Plus. Keduanya sama-sama tidak punya satu identitas musik karena lagu-lagunya variatif.

Ketidakkonsistenan The PanasDalam pada satu aliran musik bisa ditunjukkan, misal dalam lagu “Jane”. Dimulai dengan sayatan harmonika yang sangat country (serta benar-benar mirip dengan “Jangan Bicara”nya Iwan Fals), lalu secara sukses ditutup dengan musik fanfare, ini bukanlah campuran yang lazim—meski si penggubah lagu memang menyukai Bob Dylan.

Di lain waktu, The PanasDalam menjelma menjadi sebuah orkes. Di lagu “Bila Cinta Tak Indah Bagimu”, pendengar seperti tercebur di lautan kricikan bercampur biola dan kendang. Semacam nostalgia dengan Indonesia tempo doeloe. Nuansa yang sama juga terdapat dalam lagu “Budak Baheula”.

Bila kita masih berusaha menebak-nebak genre The PanasDalam, sepertinya rasa bingung akan tetap berputar-putar di sekitar kepala ketika kita sampai di lagu “D'oa Cinta Anak SMA”. Erwin—vokalis—mendesah-desah di awal lagu ini (tak bisa saya gambarkan tanpa anda dengar sendiri), menyerupai lagu-lagu pop Indonesia era 80-an. Lalu menjadi balada yang “ramai” di track “Batman”.

Dari tiga album yang sudah dirilis The PanasDalam yaitu “Only Ninja can Stop Me Now”, “Only Almarhum Ninja Can Stop My Tambourine”, dan "Only Profesor Ninja Can Stop Loving You" yang semua MP3 bajakannya dapat ditemukan di dunia maya, saya akan sebut mereka sebagai band orkes yang menyanyikan lagu-lagu balada. Yang pasti, musik mereka kental dengan harmonika.

Lirik Filosofis yang nggak Nyambung
Dibanding dengan The PanasDalam, saya lebih dulu mengenal Pidi Baiq lewat buku-bukunya: seri Drunken. Ketika membaca Drunken Monster sambil berdiri di sebuah toko buku di Yogyakarta, saya segera jatuh cinta. Kalau anda membaca buku-buku Pidi Baiq, baru mendengarkan lagu-lagu The PanasDalam, rasanya semuanya jadi rasional. Buku-buku catatan harian absurd, band yang slogannya “argumentum in absurdum” (jangan dicari artinya, karena memang ini ngarang belaka), tentu ini cuma kerjaan orang gila. Dan memang orang jenius itu sering dikatai gila, kata Pidi Baiq dalam salah satu wawancaranya.

Dalam wawancaranya dengan Soleh Solihun (solehsolihun.multiply.com), Pidi berujar, “Saya selalu sangat nikmat ketika bersebrangan dengan pandangan umum.” Maka tak aneh, semua yang ia lakukan memang tak wajar bagi orang kebanyakan. Lagipula ia bukan orang tak berpendidikan. Makanya, dengan logika yang sesat, saya sering tidak percaya kalau Pidi itu mantan dekan. Walau memang antara kejeniusan, moral, dan kelakuan tak ada hubungannya satu sama lain. Mungkin itu juga alasan ketika orang-orang berebut masuk Tv dengan segala cara, Pidi malah bilang, “saya memilih masuk surga”.

Saya kira, The PanasDalam adalah sebuah proyek bermusik avant-garde Pidi Baiq. Ini penilaian dari segi lirik. Dalam lagu “Jane”, sebuah cerita tentang kasih sayang yang sesungguhnya amatlah logis, namun benar-benar banal untuk diangkat menjadi sebuah lagu, ini menjadi lucu.

Jane,
Jika kau dipanggil wijen,
Aku marah Jane

Marilah kita bentuk suatu latar imajiner untuk situasi ini. ini sebuah percintaan di kalangan remaja, lalu si gadis (katakanlah Jane adalah perempuan, walau kita tak bisa menebak Pidi) bernama Jane memiliki pacar yang tidak suka jika ia diejek dengan panggilan macam-macam oleh teman-temannya. Ini kelucuan yang jadi lucu karena benar-benar banal. Untuk ukuran lirik lagu cinta, ini bentuk avant-garde yang memantik tawa.

Pidi dan The PanasDalam adalah sebuah chaos—suatu keadaan acak yang teratur. Dari judul dan lirik, bila dipisah, bila didengar sepotong-sepotong, tak akan menghasilkan pemahaman apapun. Coba nada tebak, akan bicara apa lagu berjudul “Cicak dan Helly”? secara harafiah, Pidi sedang menanyakan kabar Cicak dan Helly, tokoh-tokoh dalam lagu anak-anak. Ingat lirik cicak-cicak di dinding/diam-diam merayap… atau aku punya anjing kecil/kuberi nama Helly…? Dalam lagu ini, Pidi menegaskan tentang seorang anak yang sudah besar dan menjadi berjarak dengan apa yang ia sukai di kala kanak-kanak. Lihat saja liriknya:

Kini aku sudah besar/Rolling Stone laguku

Saya bayangkan, lagu ini punya peluang untuk fenomenal, seterkenal prosa Le Petit prince di Prancis yang bercerita tentang orang-orang dewasa yang tak bisa sealamiah anak kecil lagi. Di lagu-lagunya, Pidi meruntuhkan apatisme atas postmodernisme, bahwa kebanalan yang dirayakan hasilnya akan selalu buruk. Pidi bagai orang yang memakai kacamata berlensa pelangi, sementara orang-orang hanya memakai satu warna. Dia memandang satu tema dengan gaya yang berbeda. Kita dan Pidi seperti sedang berkaca pada cermin yang sama, namun berada dalam posisi yang berseberangan.
Jangan pernah bayangkan The PanasDalam seserius Efek Rumah Kaca meski saya bilang, The PanasDalam bahkan mengangkat isu gender. Di lagu “Cita-citaku”, liriknya bicara:

Cita-citaku
Ingin Menjadi polwan
Mana mungkin aku hanya lelaki
Oh Tuhan tolong hambamu
Aku tak sudi jadi bapak polwan

Di sini Pidi menggambarkan perasaan seorang pria yang mengeluh pada Tuhan karena ingin menjadi wanita. Dalam masyarakat di mana isu transgender masih begitu sensitif, profesi paling banter untuk waria sejenis membuka salon, penjaja seks, atau mengamen. Pidi berhasil membangkitkan humor yang tidak biasa namun sukses lucu: seorang pria ingin menjadi polwan. Sejenis oksimoron, karena ini sesungguhnya lagu yang sendu.

Lain pula di lagu “Do’a Cinta Anak SMA”, Pidi seperti sufi yang kocak:

Ya Tuhan, aku sedang jatuh cinta…ini serius, jangan ketawa…
Ya Tuhan, aku masih anak SMA, mungkinkah ia mau padaku…
Ya Tuhan, sudah dulu, aku malu, ini direkam..

Dalam tradisi sufisme, seorang penghayat Tuhan tak sekedar melaksanakan ibadah dalam tataran syariat, namun  tingkat tertinggi, yaitu marifat. di tingkat ini, seperti yang dilakukan oleh Rabiatul Adawiyah, Tuhan ibarat kekasih. Tempat menumpahkan perasaan terdalam, entitas terdekat yang paling dikasihi. Dan itu yang dilakukan si anak SMA dalam “Do’a Cinta Anak SMA”.

Ia meminta tuhan untuk tidak tertawa ketika menumpahkan perasaannya yang sedang dirundung cinta. Pada Tuhan, ia seperti sedang berbicara pada teman dekat, duduk berhadap-hadapan, dan si teman siap tertawa usai mendengar ceritanya. Merasakan eksistensi Tuhan seakan ia hadir adalah hal tersulit yang paling sering dikeluhkan ketika beribadah. Ini adalah pencapaian spiritual tertinggi—perasaan bahwa Tuhan ada dan nyata. Pemaknaan si anak SMA pada tokoh tuhan ditegaskan pada lirik “ya Tuhan/sudah dulu/ aku malu/ini direkam/”. Keberadaan Tuhan sebegitu nyata seperti layaknya manusia saja.

Di salah satu bukunya, Pidi bercerita bahwa ia sedang nonton televisi. Namun saat melihat Tv menyiarkan seorang penyanyi pria yang sedang menyanyi “seakan-akan ia begitu lemah karena cinta, lalu saya membunuh tivi seperti melakukan itu padanya”. Sama seperti Cholil ERK, barangkali, Pidi juga muak pada Tv dan lagu menye-menye tentang cinta. Mungkin saja itu yang membuat Pidi membuat lagu cinta dalam rasa yang “aneh” seperti “Nia”:

 Nia
 Bolehkah aku menjadi tangan kananmu
Yang kau percaya, yang kau percaya, yang kau percaya

Nia
Yang penting niatnya

Saya menganggap ini lagu seorang pria yang menyimpan suka pada seseorang bernama Nia. Ketika mendengar lagu ini bersama teman-teman saya, tawa kami meledak saat tiba di lirik di atas. Dalam jatuh cinta memang wajar bila seseorang ingin menjadi kepercayaan orang yang ia cintai, maksudnya agar si gebetan leluasa untuk mencurahkan perasaannya. Namun asosiasi orang kepercayaan dengan idiom tangan kanan benar-benar tak biasa dalam sebuah lagu cinta. Tapi… semua itu memang logis. Humor yang logis, tidak surealis, apalagi mengada-ada. Dan apapun keinginan si lawan jenis tokoh Nia ini, bagian tangan manapun yang ia ingin menjadi, pada akhirnya..”yang penting niatnya”.

Mengenang berdirinya band The PanasDalam, semula adalah sebuah negara satir yang didirikan Pidi Baiq di tahun 1995. Karena laju negara yang tak bisa dikendalikan, kata Pidi, negara ini menjadi kelompok musik. Pidi bilang ia tak benci otoritas, tapi mungkin saja ia muak dengan situasi politik sehingga bikin negara sendiri. Jadi rasa-rasanya tak aneh pula bila Pidi membuat lagu satir tentang politik semacam “Partai Kucing”.

               Kalian baik sekali
               Kalian baiknya sekali
               Kalian baik sekali ini                                 

Ini merupakan bentuk permainan rima yang rancak di telinga meski tetap menohok. Tentang partai politik di kala kampanye, kata “baik sekali” kemudian diplesetkan menjadi “baiknya sekali”.

Memandang Pidi Baiq melalui semua karyanya—lagu dan buku—lalu menilai pribadinya, saya sebut dia seorang jenius yang sebelum memulai sudah tahu bagiamana ia harus mengakhiri. Chaos yang diciptakan Pidi dalam lagu-lagunya yang dijejali lirik-lirik banal, layaknya sebuah cerita twist ending. Kisah, dalam bentuk apapun itu, dimulai, dikisahkan, dan diselesaikan dengan  jenaka. Tapi ini bentuk perayaan humor yang penuh dengan kejutan-kejutan kecil. Lirik-lirik pidi tak selesai bersamaan dengan nada terakhir instrumen music terakhir. Perlu waktu untuk menelan apa yang baru ia sampaikan: entah itu tentang sufisme, isu gender, cinta yang posesif, atau kedewasaan.

Suatu ketika, dua teman saya sesama pecinta Pidi Baiq berkomentar. Yang satu bilang, Pidi itu seorang postmo dan nihilis. Seorang lagi berkata, Pidi itu islami. Saya menolak keduanya. Pidi justru seorang yang menekankan pada isi, alih-alih bungkus. Memahami Pidi adalah memahami ia secara keseluruhan.

Pidi adalah angin segar di masa-masa penuh kekalutan macam ini. Dia menawarkan refleksi dengan cara yang mudah, yang banal. Lewat lagu tentang tangan, kucing, cicak, atau anjing. Mengamini Roland Barthes, pada akhirnya diserahkan pada penikmat untuk menerjemahkan petanda yang dibawa oleh lagu-lagu The PanasDalam, atau sekedar menelaahnya sebagai musik yang menghibur.

Inilah akibatnya, kalau seorang haji bikin band.

NB:
1. Esai yang gagal di Jakartabeat Writing Contest.
2. Ini merupakan pra-agitasi sebelum presentasi tema buat majalah EKSPRESI :D
3. Bersenang-senanglah!




=============================================

Terimakasih untuk Prima Sulistya, sudah mengiyakan dengan senyuman agar tulisan ini boleh nongkrong disini. Dan terimakasih untuk teman-teman Universitas New York. Kalian keren sekali. // Tulisan ini ada di Notes-nya Prima Sulistya pada tanggal 25 Maret 2011 jam 10:30.

Saya tidak tahu harus izin ke siapa untuk posting tulisan ini, jadi maaf kalo saya tidak izin, ini diambil dari postingan kengkawan Patrick Manurung di NKRTPS dan dibuat oleh Prima Sulistya, salam balik katanya dari teman2 mahasiswa di New York.

No comments:

Post a Comment